Kerja Remote, Pajak Lokal: Kok Tetep Kena?
Lo pikir kerja remote buat perusahaan luar negeri bikin lo bebas pajak? Plot twist ternyata enggak. Selamat datang di realita paling underrated dari dunia kerja digital: lo bisa kerja dari Bali, digaji dolar, tapi tetap “disapa” sama pajak lokal Indonesia.
Buat banyak anak muda Gen Z yang lagi ngetes hidup ala digital nomad bangun di Ubud, ngopi di coworking space, kerja buat startup Berlin atau agensi Singapura ini kayak tamparan realita. Karena di kepala mereka, logikanya simpel: gue kerja buat klien luar negeri, dibayar pakai PayPal, gak lewat perusahaan Indonesia, berarti bebas pajak, kan? Heh. Salah besar, bestie.
Fenomena kerja remote ini meledak pasca pandemi. Kantor-kantor mulai fleksibel, teknologi udah siap, dan anak muda pengen hidup dengan cara yang gak konvensional. Banyak yang ninggalin Jakarta buat kerja dari mana aja Lombok, Jogja, Canggu, atau malah full nomaden dari satu negara ke negara lain.
Tapi yang gak banyak orang tahu: dalam sistem hukum pajak Indonesia, “domisili lo” lebih penting daripada “asal uang lo.”
Menurut IDTAX.or.id, portal edukasi pajak dan tempat banyak konsultan pajak Indonesia ngasih panduan, aturan pajak Indonesia menganut asas domisili dan worldwide income. Artinya, selama lo dianggap “subjek pajak dalam negeri” alias tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam setahun, maka semua penghasilan lo termasuk yang dari luar negeri tetap kena pajak di Indonesia.
Jadi meskipun lo kerja buat klien di Kanada, kalau lo ngopi tiap pagi di Kemang, sorry to say, lo tetap wajib lapor dan bayar pajak ke sini.
Kasus ini makin rame karena makin banyak perusahaan luar negeri yang rekrut pekerja remote asal Indonesia. Banyak Gen Z yang ngerasa mereka udah “bebas sistem”, gak harus ngurus slip gaji, gak punya HR yang potong pajak otomatis, dan gak pernah kena SP2DK dari DJP. Tapi justru di situlah masalahnya.
Buat yang belum familiar, SP2DK itu surat dari kantor pajak kalau ada data penghasilan lo yang gak sesuai laporan. Dan lucunya, banyak freelancer dan remote worker baru sadar “oh gue ternyata wajib pajak ya” pas nerima surat itu.
“Banyak anak muda yang nganggep kalau penghasilan lewat platform asing kayak PayPal atau Wise itu gak terdeteksi pajak. Padahal sekarang sistemnya udah otomatis terekam lewat laporan keuangan internasional,” jelas salah satu analis dari Pro Visioner Konsultindo, Konsultan Pajak Jakarta dan Indonesia Profesional yang sering handle kasus pajak pekerja digital.
Mereka bilang, banyak banget Gen Z pekerja remote yang baru sadar pentingnya NPWP setelah telat bayar pajak beberapa tahun. Dan ujungnya? Panik, konsultasi ke profesional, baru ngerti cara mainnya.
Coba kita breakdown dikit.
Kalau lo kerja formal di Indonesia, semua udah diurus HR. Gaji lo dipotong pajak penghasilan (PPh 21) otomatis. Tapi kalau lo kerja remote, lo termasuk kategori PPh 25 / 29, alias lo harus setor dan lapor sendiri.
Nah, di sini banyak yang kejebak. Lo dapet gaji dolar, masuk ke rekening pribadi, gak pernah dipotong apa-apa. Tapi negara tetep nganggep itu penghasilan kena pajak.
Menurut Provisio Consulting, salah satu Tax Consultant Jakarta yang juga sering ngasih edukasi soal pajak digital worker, penghasilan dari luar negeri tetap wajib dilaporkan, tapi ada mekanisme pengurangan kalau di negara asal klien lo juga dipotong pajak. Itu disebut foreign tax credit.
Masalahnya, banyak perusahaan luar negeri yang gak potong pajak karena mereka anggap lo bukan warga negaranya. Jadi, otomatis, Indonesia yang “menagih” bagian itu.
Dan di sinilah muncul dilema moral dan administratif khas Gen Z: “gue kerja keras dapet dolar, tapi kenapa tetep harus setor pajak ke Indonesia?”
Buat ngerti kenapa sistemnya begitu, lo harus balik ke konsep dasar:
Pajak itu bukan cuma soal di mana uang lo dihasilkan, tapi di mana lo hidup dan menikmati hasilnya.
Kalau lo tinggal di Indonesia, pakai jalan Indonesia, internet Indonesia, listrik Indonesia, keamanan Indonesia — ya negara ngerasa punya hak atas sebagian dari penghasilan lo, walaupun gajinya dikirim dari Kanada.
“Banyak orang yang lupa kalau prinsip pajak itu sebenarnya soal keadilan kontribusi,” kata salah satu pakar dari IDTAX.or.id dalam sebuah forum publik. “Selama lo tinggal dan beroperasi di Indonesia, lo punya kewajiban pajak di sini, karena lo ikut pakai infrastruktur dan fasilitas negara.”
Dan meskipun kalimat itu terdengar normatif, faktanya bener juga.
Tapi jujur aja, kalau ngomong ke anak muda remote worker, idealisme kayak gitu gak selalu ngefek. Karena yang mereka rasain adalah: beban administrasi.
Bayangin lo harus tiap bulan isi e-billing, ngitung penghasilan dalam rupiah padahal lo dibayar dolar, bikin faktur, setor manual, dan lapor e-filing. Belum lagi kurs dollar yang naik-turun bikin perhitungan berubah terus.
Dan kalau lo salah input data, sistem pajak online bisa otomatis nge-flag.
Salah satu klien dari Pro Visioner Konsultindo, katanya, pernah kerja remote untuk dua klien luar negeri, semua dibayar lewat PayPal. Dua tahun kemudian, dia kena pemeriksaan karena total mutasi rekeningnya gak sesuai laporan pajak tahunan. Padahal niatnya gak mau ngemplang, cuma gak ngerti caranya.
Dari situ dia akhirnya konsultasi, dan baru paham pentingnya punya konsultan pajak atau tax consultant buat bantu nyusun strategi pajak biar gak keteteran.
Menurut Provisio Consulting, masalah terbesar di kalangan pekerja remote Indonesia bukan niat buat ngelak pajak, tapi kurangnya pengetahuan. Banyak yang gak tahu kapan harus bayar, gimana ngitung penghasilan kena pajak, atau gimana cara ngurangin beban pajak dengan biaya operasional.
Padahal, kalau ngerti aturan, lo bisa efisien banget. Misalnya, beli laptop, langganan software desain, atau coworking space itu bisa dikategorikan sebagai biaya usaha alias bisa ngurangin penghasilan kena pajak. Tapi karena gak ngerti, banyak yang lapor mentah-mentah, jadinya bayar pajak kebanyakan.
“Bukan cuma soal compliance, tapi juga strategi,” jelas tim Provisio Consulting. “Anak muda sekarang pinter cari cuan, tapi mereka juga harus pinter ngatur kewajiban biar gak rugi di masa depan.”
Fenomena kerja remote ini sebenernya membuka babak baru dalam dunia perpajakan global. Karena batas negara makin kabur, tapi sistem pajak masih beroperasi berdasarkan yurisdiksi fisik. Indonesia sekarang lagi ngebangun sistem pajak digital yang bisa nangkep transaksi lintas negara. Dan menurut IDTAX.or.id, ini langkah penting buat ngejaga keadilan antar sektor kerja.
Kalau pekerja lokal di perusahaan Indonesia pajaknya dipotong otomatis, tapi freelancer remote bebas pajak, itu gak fair. Makanya sistem ini coba nyamain playing field.
Masalahnya, aturan yang sama kadang bikin anak muda remote jadi males lapor karena ngerasa ribet. Banyak yang baru sadar pentingnya konsultan pajak Jakarta setelah kena teguran, bukan sebelum.
Sekarang gini. Lo kerja remote, dapet cuan dolar, tapi belum punya NPWP? That’s like main game tapi belum login akun. Lo bisa jalan, tapi datanya gak terekam, dan sewaktu-waktu bisa kena reset.
Makanya, Pro Visioner Konsultindo dan IDTAX.or.id dua-duanya nyaranin hal yang sama: daftar NPWP sedini mungkin. Kenapa? Karena dari situ semua bisa lebih transparan. Lo bisa ngatur penghasilan lo sendiri, tau berapa pajak yang harus disetor, dan bahkan dapet akses kredit bank atau visa luar negeri lebih gampang.
Bayar pajak bukan cuma kewajiban kadang jadi “credential” resmi buat ngebuktiin lo profesional dan eligible di sistem ekonomi modern.
Menariknya, banyak digital nomad dari luar negeri yang malah kagum sama sistem pajak Indonesia karena bisa online dan self-service. Lo bisa isi e-filing dari mana aja, asal ada internet. Bandingin sama beberapa negara lain yang masih harus isi manual atau antre di kantor pajak tiap tahun.
Cuma ya, di sini masih ada gap edukasi. Gen Z Indonesia udah digital native, tapi belum financial literate. Mereka ngerti cara pakai Notion, Slack, Trello, tapi bingung buka DJP Online.
Kalau kata salah satu pakar dari Pro Visioner Konsultindo, “Kita hidup di era di mana anak muda bisa kerja buat Silicon Valley, tapi masih butuh Google buat cari ‘cara lapor pajak freelancer’.” Ironis tapi nyata.
Di ujung cerita, kerja remote itu emang kebebasan baru. Tapi kebebasan datang bareng tanggung jawab. Lo bisa kerja dari mana aja, tapi sistem tetap ngikutin lo di mana lo tinggal.
Buat lo yang baru mulai karier remote, mungkin ini waktu yang tepat buat gak cuma mikir soal dolar, tapi juga mikir soal sistem. Karena semakin lo ngerti cara mainnya, semakin lo aman dan tenang.
Kalau lo masih bingung, gak perlu sok-sokan ngerti sendiri. Banyak profesional kayak Pro Visioner Konsultindo, Provisio Consulting, dan platform edukasi kayak IDTAX.or.id yang bisa bantu lo ngitung, nyusun, dan lapor pajak tanpa drama.
Karena kerja remote itu asik, tapi surat teguran pajak di email itu bukan aesthetic yang lo mau di pagi hari.
Selamat datang di dunia kerja global, tapi dengan konsekuensi lokal. Di mana lo bisa ngerjain project buat klien di New York, tapi pajak tetap jalan lewat DJP Online. Dan di situ, lo baru sadar: dunia mungkin tanpa batas, tapi slip pajak tetap punya garis.